banner image

Belajar ketegaran dari perjalanan hidup wawan...

Ayah, Aku Rindu
Bagian 2
Oleh Nurul Hidayat
Belajar ketegaran dari perjalanan hidup wawan...

Seperti malam-malam sebelumnya, kami selalu makan malam bertiga, ya karna kami memang hanya tinggal bertiga di rumah. Hanya sesekali aku atau adikku mengajak teman untuk menginap di rumah. Ibu sangat mengenal baik siapa teman-temanku dan juga teman adikku. Ibu selalu berusaha untuk akrab dengan teman-temankuyang pernah aku ajak ke rumah, baik untuk mengerjakan tugas kelompok ataupun hanya sekedar mampir. Ibu suka mengajak mereka berbincang, atau juga hanya sekedar menawarkan makan dan minum.

Yaa, Ibu memang sangat pandai menempatkan diri, keahliannya dalam merangkai kata dan juga pengetahuannya yang luas serta gaya bicaranya yang fleksibel, membuat teman-temanku tidak merasa terganggu dan malah betah untuk berlama-lama berbincang dengan ibu.
Pernah waktu itu aku mengajak temanku wawan untuk di rumahku, tujuannya sih mau menginapmengerjakan tugas kuliah bersama, ya sekalian liburan lah. Kebetulan waktu itu akhir pekan, dan rumahku yang dekat dengan pantai juga menjadi tempat yang cocok untuk istirahat setelah berhari-hari di kampus. hehe.

Tapi, bukannya mengerjakan tugas bersama. Wawan malah asik ngobrol dengan ibu dan adikku di ruang tengah.
Sambil bersantai dan menonton siaran komedi di salah satu stasiun tv swasta, mereka bertiga asik tertawa cekikikan, seolah tidak melihatku yang sedari tadi ribet dengan buku yang berserakan.
Setelah dilihat-lihat, sepertinya yang mereka tonton asik juga, akhirnya akupun segera keluar dari kamar dan ikut bergabung bersama mereka. Masalah tugas, biarlah, masih ada waktu 1 pekan lagi untuk menyelesaikannya, pikirku. Malam ini, istirahat dulu aja, sambil ngobrol-ngobrol dan nonton bareng.

Selain untuk mengerjakan tugas bersama, aku mengajak wawan ke rumah juga sebenarnya karena aku ingin menyenangkan hati temanku itu, sekitar sebulanan yang lalu, wawan sempat berkata kepadaku bahwa dia ingin sekali menghabiskan akhir pekan dengan memancing di laut, berlayar menggunakan perahu kecil atau sampan, dan kemudian makan-makan bersama di pinggir pantai. Sepertinya itu mengasyikan kata wawan.

Bosen di kostan terus, lagi pula setiap pekan waktunya habis untuk ikut kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Selain itu, wawan juga kan sedang belajar berwirausaha, jadi hari-harinya cukup melelahkan, terangnya.
Wawan itu teman baikku, teman seperjuangan di kampus. Karena banyaknya persamaan diantara aku dan wawan, aku bahkan sudah menganggap wawan seperti saudara sendiri. Ibu juga sepertinya merasa nyaman dengan wawan, dan mulai menganggapnya seperti anaknya sendiri sekarang.

Wawan ini orang jauh, dia kuliah disini karena dapat beasiswa. Dia sekarang tinggal ngekost sama teman-teman sedaerahnya yang kuliah disini juga.

Di tempat asalnya, wawan tinggal bersama kakek dan neneknya, di sebuah rumah kayu yang terbilang sederhana. Ayah dan ibunya bercerai sejak wawan masih berusia 5 tahun, ayah wawan pergi begitu saja meniggalkan wawan dan ibunya. Kabarnya saat ini ayah wawan sudah menikah lagi dan tinggal menetap di kalimantan dengan keluarga barunya. Sedangkan wawan dan ibunya tinggal bersama nenek dan kakeknya di jawa.

Kehilangan ayah di usia yang masih sangat muda memang sangat menyedihkan bagi wawan, hal yang sangat berat bagi anak seusia wawan waktu itu. wawan pernah cerita kepadaku, betapa dia sangat merindukan sosok seorang laki-laki yang dipanggilnya ayah itu.
Padahal wawan berharap bias tumbuh menjadi dewasa dengan didampingi oleh kedua orang tuanya. Apalagi ayahnya, wawan ingin banyak belajar dari ayahnya, tentang kehidupan, tentang tanggung jawab, dan lainnya. Namun ternyata, itu tidak bisa wawan dapatkan dari ayahnya, akhirnya wawan banyak belajar dari perjuangan kakeknya dalam menjaga keluarganya. Wawan sangat ingin menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab kepada keluarga, seperti kakeknya itu.

Kakek dan nenek wawan sehari-hari bekerja sebagai petani, mereka memiliki sepetak sawah yang tidak terlalu besar. Sawah itu lah yang menjadi sumber penghasilan mereka.
Di tempat wawan tinggal, belum ada jaringan irigasi, sehingga sawah-sawah disana hanya memanfaatkan air hujan sebagai satu-satunya sumber pengairan sawah. Kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih, mereka bisa membuat sumur bor di dekat sawah mereka.

Kakek dan nenek wawan tidak mampu untuk membuat sumur bor dan membeli pompa. Karena itu lah sawah mereka hanya bisa ditanami padi ketika musim hujan tiba. Dan ketika musim panas, sawahnya mereka jadikan ladang untuk menanam palawija atau sayur mayur.

Sedangkan ibu wawan, setelah bercerai dengan suaminya, ia memutuskan untuk pergi ke kota dan mencari kerja disana. Awalnya ibu wawan berniat untuk bekerja ke luar negeri sebagai TKW, tapi kakek dan nenek wawan melarangnya. Selain wawan yang masih terlalu kecil untuk ditinggalkan jauh-jauh, bekerja di negeri sendiri akan lebih kecil resikonya. Begitu kata kakek dan nenek wawan.
Ibu wawan mengerti, dan dia pun akhirnya pergi ke kota dan bekerja di pabrik tekstil. Sedang wawan, ditinggalkan bersama kakek dan neneknya di kampung. Setiap bulan ibu wawan selalu mengirimkan uang kepada nenek wawan untuk biaya sekolah dan biaya hidup wawan di kampung. Hanya waktu-waktu tertentu ibu wawan pulang kampung untuk menengok wawan, mungkin 1 atau 2 kali dalam setahun.
Disitulah wawan kembali merasakan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Yah, meski kakek dan nenek wawan sangat menyayangi wawan, namun sosok seorang ibu memang tidak bisa digantikan oleh siapapun.

Setelah 5 tahun bekerja, ibu wawan mulai sakit-sakitan karena selalu berhubungan dengan bahan-bahan kimia pewarna tekstil. Melihat kondisinya yang tidak baik, ibu wawan memutuskan untuk berhenti bekerja dan pulang ke kampung. Wawan merasa sangat bahagia dengan kepulangan ibunya. Namun, baru sekitar 1 tahun wawan merasakan kebahagiaan bersama ibunya, atau tepat di usia wawan yang ke 11, ibu wawan meninggal, akibat dari penyakit yang dideritanya.

Wawan sangat terpukul dengan kejadian itu. Bahkan ia pernah bercerita kepadaku, selepas ibunya meninggal, wawan selalu berdiam diri di rumah. Hampir 1 bulan lebih wawan tak keluar rumah.

Jangankan untuk sekolah, untuk bermain pun wawan tidak mau. Hingga akhirnya kakek wawan meminta kepada guru sekolah dan teman-teman sekelas wawan untuk datang ke rumah dan membujuk serta menyemangati wawan agar mau sekolah lagi.
Dengan usaha yang keras dari kakek, nenek, guru sekolah serta teman-teman sekolah wawan, akhirnya wawan mau kembali lagi ke sekolah dan mulai menjalankan aktivitasnya seperti biasa.

Wawan masih belum bias melupakan kesedihannya saat itu, hingga akhirnya wawan bertemu dengan seseorang yang sangat luar biasa baginya. Seorang guru agama di sekolahnya, guru baru yang bijak dan hanif. Dengan cepat, sang guru memahami kondisi wawan dan mulai melakukan pendekatan kepada wawan.

Dengan pembawaannya yang dewasa dan bijak, guru itu mulai melakukan pendekatan kepada wawan. Memberi nasihat dan motivasi kepada wawan agar tidak larut dalam kesedihan, dan mulai merencanakan kehidupan yang akan dating.
Beberapa pekan kemudian, sepertinya wawan sudah benar-benar ikhlas dengan kejadian-kejadian yang menimpa hidupnya sejak kecil. Wawan mulai mengerti bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya adalah bentuk kasih sayang dari Allah kepadanya, sekaligus bentuk ujian dan pengajaran dari Allah agar wawan bisa menjadi orang yang kuat, ikhlas dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Belajar ketegaran dari perjalanan hidup wawan... Belajar ketegaran dari perjalanan hidup wawan... Reviewed by Nurul Hidayat on Mei 04, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.