Ayah, Aku Rindu
Bagian 1
Oleh. Nurul Hidayat
Malam Ini, awal dari semua kisah ini...
Malam ini selepas shalat isya berjamaah di masjid, aku bergegas untuk segera kembali ke rumah. Bersama beberapa orang bapak-bapak tetanggaku dan anak-anak yang juga shalat berjamaah bersamaku di masjid tadi. Masjid yang tak jauh dari rumahku, mungkin jaraknya hanya sekitar 300 meter.
Dalam perjalanan pulang itu, aku selalu memperhatikan mereka, anak-anak yang tingkahnya lucu serta super aktif. Sepanjang jalan mereka berlarian saling kejar sambil memainkan ranting-ranting tanaman kecil yang tumbuh di sekitaran jalan. Gelak tawa riang yang keluar dari bibir mereka memberikan kebahagiaan juga bagiku, apalagi candaan dan gurauan-gurauan mereka yang lucu, membuatku tak mau berhenti untuk terus memperhatikan mereka sambil menahan tawa.
Berbeda dengan bapak-bapak itu, mereka terlihat begitu serius mengobrol, seperti sedang membicarakan suatu hal yang sangat penting. Untuk mengobati rasa penasaranku dengan apa yang sedang mereka bicarakan, aku pun ikut membaur ke dalam obrolan mereka. Oh, rupanya mereka sedang membicarakan perihal desa ini. Masing-masing saling mengungkapkan harapan tentang desa ini di masa yang akan datang. Ada salah satu bapak yang mengatakan “saya berharap suatu saat akan ada orang-orang hebat dari kampung ini yang bisa membawa kampung ini menjadi kampung yang lebih maju dari saat ini”, pak farhan namanya. Beliau memang terkenal sebagai orang yang sangat peduli dengan kemajuan kampung ini, dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa akan ada yang mampu membawa kampung ini menjadi kampung yang lebih sejahtera. Tak heran jika beliau selalu memotivasi anak-anaknya untuk terus belajar, menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Aku pun sering dinasehati olehnya.
Tak lama, suara gemuruh petir terdengar dan memecahkan pembicaraan kami. Dari arah belakang, salah satu jamaah yang baru keluar masjid segera menyusul kami sambil berkata “Wah, langitnya terlihat mendung gelap, sepertinya akan segera turun hujan, mari semua, saya duluan.” Mendahului kami yang sedang berjalan santai.
Butiran-butiran kecil air hujan mulai berjatuhan dari kumpulan awan hitam yang sejak tadi berada di langit wilayah kampung kami. Kami mulai mempercepat langkah kami, agar kami tak basah kuyup karena terguyur oleh hujan yang mulai melebat.
Akupun menyegerakan langkahku, melepaskan sandalku pada anak tangga paling bawah di depan rumah, dan langsung bergegas naik ke atas.
Rumah-rumah disini kebanyakan masih menggunakan rumah panggung, karena kami tinggal di daerah pesisir pantai dan dekat juga dengan pegunungan. Rumah panggung digunakan untuk menghindari sewaktu-waktu terjadinya pasang dari laut atau air sungai dari gunung yang meluap.
Aku ucapkan salam pada ibu dan saudariku yang ada di rumah, “Assalamu’alaikum”, “waalaykumussalam Wr. Wb.” Jawab adikku yang dengan segara melangkah membukakan pintu untukku. aku bersegera masuk dan menyalami mereka, kemudian langsung masuk ke kamar dan mulai membaca Al-Qur’an.
Hingga beberapa halaman selesai, kuganti pakaianku dengan pakaian santai. Kaos oblong dan celana training cukup nyaman digunakan untuk tidur malam ini.
Aku kembali duduk pada sebuah kursi yang berhadapan dengan meja belajarku, kursi itu berada tepat di samping jendela kamarku, ayahku yang meletakkannya disana, dan sampai saat ini aku tak kuasa untuk merubah atau memindahkannya.
Seketika, suara gemericik air hujan yang membentur atap rumah mulai terdengar, turun dengan derasnya menyapaku yang kemudian teringat akan kisahku pada masalalu. Kaca jendela kamarku pun mulai berembun, terkena percikan air hujan yang terbawa dan teruraikan secara lembut oleh angin malam. Suasana itu seketika semakin membawaku pada suasana rindu yang begitu menusuk kalbu, rindu pada sesosok orang yang saat itu berdiri bersama dalam guyuran air hujan.
Kugerakkan tanganku secara perlahan ke arah jendela, dan kusentuhkan jemariku pada kaca yang berembun itu, seketika hawa dingin mulai merasuki diriku, bermula dari ujung jemari yang kemudian merambat ke telapak tangan, melewati pergelangan tangan dan tiba tepat dihatiku. Membekukan segenap perasaan yang tersimpan rapi dihatiku, memadatkan rasa rinduku yang sudah mulai mencair.
Suara desiran ombak yang menghantam pasir sangat jelas terengar dari sini. Ya, jarak dari halaman rumahku hingga ke pantai memang cukup dekat. Mungkin hanya 30 meter, yang itupun sudah ditambahkan dengan lebar jalan raya yang melintas di depan rumah. Suara desiran ombak dan derasnya air hujan malam ini seperti sebuah irama melodi yang semakin membuatku jatuh lebih jauh dalam pelukan rindu.
Kamarku terletak di bagian depan sebelah kiri rumahku, ada dua jendela di kamarku. satu jendela di sebelah kiri mengarah pada rumah tetanggaku, yang juga sebuah kedai kopi. satu jendela yang lain mengarah tepat pada hamparan samudera yang luas membentang.
Hanya sebatang pohon waru dan dua batang pohon ketapang serta rerumputan hijau yang tak terlalu tinggi yang tumbuh di sekitar pantai yang berhadapan tepat dengan rumahku. Namun tetap rindang dan semakin mempercantik pemandangan alam yang Allah ciptakan untuk semua mahkluknya itu.
Dari kamar ini, aku bisa leluasa melihat orang-orang yang berlalu lalang di jalan. Tapi malam ini, jalanan sangat sepi, mungkin karena hujan lebat. yang membuat orang-orang menjadi malas untuk keluar rumah. Atau mungkin sebenarnya banyak yang sedang dalam perjalanan, namun karena hujan, mereka terpaksa harus berteduh di rumah-rumah warga di sudut jalan sana.
Aku tidak terlalu tertarik untuk memikirkan itu. Yang pasti, suasana malam yang begitu sepi ini, Membuat semua kenangan yang tersimpan rapat-rapat dalam hati, tiba-tiba mendobrak pintu hatiku dan bergegas keluar menyergap pikiranku. Aku kembali terjebak pada kenangan masa lalu, kenangan yang indah namun juga menyakitkan hati.
Seketika, aku mendengar suara ketukan dari balik pintu kamarku, yang kemudian diiringi dengan suara lembut dan penuh kasih dari ibu yang memanggilku, mengajakku untuk makan malam bersama.
“alif, makan dulu nak, ibu sudah siapkan makanan di meja makan.”
“baik bu, aku akan segera keluar.” Jawabku.
Sambil menghapus air mata yang tak terasa menetes ketika aku membayangkan kisah masa laluku bersama orang yang aku cintai itu. Aku segera berdiri dan berjalan keluar, mencoba untuk melupakan kenangan indah yang tadi datang kembali menyapa malamku. Kuteguhkan hatiku dan kucoba untuk memasang senyum di bibirku, agar ibu tak curiga denganku. Ku hela nafas panjang dan kubuka pintu kamarku, Ibu dan adikku sudah menungguku di meja makan.
Aku duduk berhadapan dengan ibu, sedang adikku duduk di samping ibu, seperti biasanya. Sejak dulu, adikku memang sangat dekat dengan ibu, bahkan untuk urusan tempat duduk di meja makan, kamar tidur, hingga hal-hal kecil seperti rak sepatu pun ia meminta untuk selalu berdampingan dengan milik ibu. Aku tau, adikku sangat mencintai dan menyayangi ibu, hingga ia tak mau berada jauh darinya. Dan aku sangat memahami alasannya.
Seperti biasa, ibu selalu mengambilkan makanan untuk kami anak-anaknya.
“segini cukup lif?” sambil menunjukkan setumpuk nasi di piring yang sedang dipegangnya.
“cukup bu” jawabku.
“Kamu mau makan sama apa?”, tanya ibu lagi kepadaku.
“biar aku yang ambil sendiri bu lauknya” aku berdiri dan mengambil piring berisi nasi yang masih di pegang oleh ibu.
“oh, ya sudah.
Kalau kamu dek, mau makan sama apa? Segini cukup kan nasinya?” ibu bertanya pada adikku.
“iya bu, cukup. Makan sama apa aja lah bu, masakan ibu kan semuanya enak.” Jawaban adikku kepada ibu dengan nada manja dan penuh pujian kepada ibu.
Ya adikku memang anak yang manja, apa lagi kalau sama ibu.
Bagian 1
Oleh. Nurul Hidayat
Malam Ini, awal dari semua kisah ini...
Malam ini selepas shalat isya berjamaah di masjid, aku bergegas untuk segera kembali ke rumah. Bersama beberapa orang bapak-bapak tetanggaku dan anak-anak yang juga shalat berjamaah bersamaku di masjid tadi. Masjid yang tak jauh dari rumahku, mungkin jaraknya hanya sekitar 300 meter.
Dalam perjalanan pulang itu, aku selalu memperhatikan mereka, anak-anak yang tingkahnya lucu serta super aktif. Sepanjang jalan mereka berlarian saling kejar sambil memainkan ranting-ranting tanaman kecil yang tumbuh di sekitaran jalan. Gelak tawa riang yang keluar dari bibir mereka memberikan kebahagiaan juga bagiku, apalagi candaan dan gurauan-gurauan mereka yang lucu, membuatku tak mau berhenti untuk terus memperhatikan mereka sambil menahan tawa.
Berbeda dengan bapak-bapak itu, mereka terlihat begitu serius mengobrol, seperti sedang membicarakan suatu hal yang sangat penting. Untuk mengobati rasa penasaranku dengan apa yang sedang mereka bicarakan, aku pun ikut membaur ke dalam obrolan mereka. Oh, rupanya mereka sedang membicarakan perihal desa ini. Masing-masing saling mengungkapkan harapan tentang desa ini di masa yang akan datang. Ada salah satu bapak yang mengatakan “saya berharap suatu saat akan ada orang-orang hebat dari kampung ini yang bisa membawa kampung ini menjadi kampung yang lebih maju dari saat ini”, pak farhan namanya. Beliau memang terkenal sebagai orang yang sangat peduli dengan kemajuan kampung ini, dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa akan ada yang mampu membawa kampung ini menjadi kampung yang lebih sejahtera. Tak heran jika beliau selalu memotivasi anak-anaknya untuk terus belajar, menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Aku pun sering dinasehati olehnya.
Tak lama, suara gemuruh petir terdengar dan memecahkan pembicaraan kami. Dari arah belakang, salah satu jamaah yang baru keluar masjid segera menyusul kami sambil berkata “Wah, langitnya terlihat mendung gelap, sepertinya akan segera turun hujan, mari semua, saya duluan.” Mendahului kami yang sedang berjalan santai.
Butiran-butiran kecil air hujan mulai berjatuhan dari kumpulan awan hitam yang sejak tadi berada di langit wilayah kampung kami. Kami mulai mempercepat langkah kami, agar kami tak basah kuyup karena terguyur oleh hujan yang mulai melebat.
Akupun menyegerakan langkahku, melepaskan sandalku pada anak tangga paling bawah di depan rumah, dan langsung bergegas naik ke atas.
Rumah-rumah disini kebanyakan masih menggunakan rumah panggung, karena kami tinggal di daerah pesisir pantai dan dekat juga dengan pegunungan. Rumah panggung digunakan untuk menghindari sewaktu-waktu terjadinya pasang dari laut atau air sungai dari gunung yang meluap.
Aku ucapkan salam pada ibu dan saudariku yang ada di rumah, “Assalamu’alaikum”, “waalaykumussalam Wr. Wb.” Jawab adikku yang dengan segara melangkah membukakan pintu untukku. aku bersegera masuk dan menyalami mereka, kemudian langsung masuk ke kamar dan mulai membaca Al-Qur’an.
Hingga beberapa halaman selesai, kuganti pakaianku dengan pakaian santai. Kaos oblong dan celana training cukup nyaman digunakan untuk tidur malam ini.
Aku kembali duduk pada sebuah kursi yang berhadapan dengan meja belajarku, kursi itu berada tepat di samping jendela kamarku, ayahku yang meletakkannya disana, dan sampai saat ini aku tak kuasa untuk merubah atau memindahkannya.
Seketika, suara gemericik air hujan yang membentur atap rumah mulai terdengar, turun dengan derasnya menyapaku yang kemudian teringat akan kisahku pada masalalu. Kaca jendela kamarku pun mulai berembun, terkena percikan air hujan yang terbawa dan teruraikan secara lembut oleh angin malam. Suasana itu seketika semakin membawaku pada suasana rindu yang begitu menusuk kalbu, rindu pada sesosok orang yang saat itu berdiri bersama dalam guyuran air hujan.
Kugerakkan tanganku secara perlahan ke arah jendela, dan kusentuhkan jemariku pada kaca yang berembun itu, seketika hawa dingin mulai merasuki diriku, bermula dari ujung jemari yang kemudian merambat ke telapak tangan, melewati pergelangan tangan dan tiba tepat dihatiku. Membekukan segenap perasaan yang tersimpan rapi dihatiku, memadatkan rasa rinduku yang sudah mulai mencair.
Suara desiran ombak yang menghantam pasir sangat jelas terengar dari sini. Ya, jarak dari halaman rumahku hingga ke pantai memang cukup dekat. Mungkin hanya 30 meter, yang itupun sudah ditambahkan dengan lebar jalan raya yang melintas di depan rumah. Suara desiran ombak dan derasnya air hujan malam ini seperti sebuah irama melodi yang semakin membuatku jatuh lebih jauh dalam pelukan rindu.
Kamarku terletak di bagian depan sebelah kiri rumahku, ada dua jendela di kamarku. satu jendela di sebelah kiri mengarah pada rumah tetanggaku, yang juga sebuah kedai kopi. satu jendela yang lain mengarah tepat pada hamparan samudera yang luas membentang.
Hanya sebatang pohon waru dan dua batang pohon ketapang serta rerumputan hijau yang tak terlalu tinggi yang tumbuh di sekitar pantai yang berhadapan tepat dengan rumahku. Namun tetap rindang dan semakin mempercantik pemandangan alam yang Allah ciptakan untuk semua mahkluknya itu.
Dari kamar ini, aku bisa leluasa melihat orang-orang yang berlalu lalang di jalan. Tapi malam ini, jalanan sangat sepi, mungkin karena hujan lebat. yang membuat orang-orang menjadi malas untuk keluar rumah. Atau mungkin sebenarnya banyak yang sedang dalam perjalanan, namun karena hujan, mereka terpaksa harus berteduh di rumah-rumah warga di sudut jalan sana.
Aku tidak terlalu tertarik untuk memikirkan itu. Yang pasti, suasana malam yang begitu sepi ini, Membuat semua kenangan yang tersimpan rapat-rapat dalam hati, tiba-tiba mendobrak pintu hatiku dan bergegas keluar menyergap pikiranku. Aku kembali terjebak pada kenangan masa lalu, kenangan yang indah namun juga menyakitkan hati.
Seketika, aku mendengar suara ketukan dari balik pintu kamarku, yang kemudian diiringi dengan suara lembut dan penuh kasih dari ibu yang memanggilku, mengajakku untuk makan malam bersama.
“alif, makan dulu nak, ibu sudah siapkan makanan di meja makan.”
“baik bu, aku akan segera keluar.” Jawabku.
Sambil menghapus air mata yang tak terasa menetes ketika aku membayangkan kisah masa laluku bersama orang yang aku cintai itu. Aku segera berdiri dan berjalan keluar, mencoba untuk melupakan kenangan indah yang tadi datang kembali menyapa malamku. Kuteguhkan hatiku dan kucoba untuk memasang senyum di bibirku, agar ibu tak curiga denganku. Ku hela nafas panjang dan kubuka pintu kamarku, Ibu dan adikku sudah menungguku di meja makan.
Aku duduk berhadapan dengan ibu, sedang adikku duduk di samping ibu, seperti biasanya. Sejak dulu, adikku memang sangat dekat dengan ibu, bahkan untuk urusan tempat duduk di meja makan, kamar tidur, hingga hal-hal kecil seperti rak sepatu pun ia meminta untuk selalu berdampingan dengan milik ibu. Aku tau, adikku sangat mencintai dan menyayangi ibu, hingga ia tak mau berada jauh darinya. Dan aku sangat memahami alasannya.
Seperti biasa, ibu selalu mengambilkan makanan untuk kami anak-anaknya.
“segini cukup lif?” sambil menunjukkan setumpuk nasi di piring yang sedang dipegangnya.
“cukup bu” jawabku.
“Kamu mau makan sama apa?”, tanya ibu lagi kepadaku.
“biar aku yang ambil sendiri bu lauknya” aku berdiri dan mengambil piring berisi nasi yang masih di pegang oleh ibu.
“oh, ya sudah.
Kalau kamu dek, mau makan sama apa? Segini cukup kan nasinya?” ibu bertanya pada adikku.
“iya bu, cukup. Makan sama apa aja lah bu, masakan ibu kan semuanya enak.” Jawaban adikku kepada ibu dengan nada manja dan penuh pujian kepada ibu.
Ya adikku memang anak yang manja, apa lagi kalau sama ibu.
Malam Ini, awal dari semua kisah ini...
Reviewed by Nurul Hidayat
on
Mei 03, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar