Pagi ini aku sudah bersiap pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat shubuh berjamaah. Seperti biasanya, sebelum pergi ke masjid, aku membangunkan teman-teman satu kontrakanku agar bisa shalat berjamaah. Setelah itu aku langsung bergegas pergi. Seketika saat aku sedang membuka pintu gerbang, suara adzan dari masjid kampusku sudah terdengar mengudara. Alhamdulillah, sudah ada yang adzan ternyata, dalam hatiku berbicara. Namun kemudian aku berfikir, kenapa aku malah bersyukur ketika sudah ada yang adzan di masjid kampusku, harusnya aku yang adzan disana. Karena pahala bagi orang-orang yang menyeru untuk shalat berjamaah itu pahalanya luar biasa.
Tapi disisi lain, aku juga sangat bersyukur dan berbahagia. Tandanya sudah ada orang di masjid, dan siap melakukan sholat berjamaah, tidak seperti biasanya. Maksudku tidak seperti biasanya adalah, belum ada orang sampai waktu shubuh tiba. Bahkan ketika selesai adzan shubuh pun hanya ada 2 sampai 3 orang yang datang ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah. Tak jarang juga aku sholat shubuh sendirian, lantaran penjaga kampus atau satpam kampus ketiduran karena kelelahan begadang semalam suntuk, hingga tak mendengar suara adzan.
Sesampainya di masjid, aku melihat seorang pemuda yang sangat jarang sekali aku melihatnya berada dalam barisan saff jamaah shalat di masjid, apa lagi dalam jamaah shalat shubuh. Tak sekalipun aku bisa menjumpainya. Ia seorang pemuda yang semenjak beberapa waktu lalu bekerja sebagai petugas kebersihan di kampusku. Tempat tinggal pemuda itupun tak jauh dari kontrakanku. Aku sering berjumpa dan menyapanya ketika aku berangkat ke masjid di beberapa waktu sholat, sekali lagi kecuali sholat shubuh.
Tapi pagi ini benar-benar berbeda, aku bisa melihatnya, berdiri tegak di sebelah mimbar sambil memegang microfon atau pengeras suara dan mengumandangkan adzan shubuh. Entah sejak dari pukul berapa ia ada di masjid, tapi yang pasti aku senang dan bangga bisa berjumpa dengannya dalam jamaah shalat shubuh.
Selesai adzan berkumandang, dia dan satu orang lagi yang telah ada di masjid itupun melakukan shalat sunnah 2 rakaat sebelum shubuh, kemudian aku dan satu orang ibu-ibu juga masuk dan bersegera untuk melakukan shalat sunnah. Selesai shalat sunnah, pemuda itupun berbalik ke arahku, menyapa dan menyodorkan tangannya, ia mengajakku untuk berjabat tangan, sambil berbicara seraya meminta izin kepadaku. “mas, bolehkah saya menjadi imam?”. “Ya boleh, jawabku. Kenapa tidak.” Pemda itupun langsung membalikkan arah dan memperbaiki posisi duduknya, menghadap kiblat. Aku berfikir, kenapa tiba-tiba ia berbicara seperti itu kepadaku, kenapa ia meminta izin kepadaku untuk menjadi imam. Tapi ya sudahlah, aku tidak terlalu memikirkannya, dan kembali melanjutkan dzikirku.
Setelah ditunggu beberapa saat, ternyata tak ada lagi jamaah yang datang untuk shalat berjamaah dengan kami, kecuali seorang satpam kampus yang sejak tadi berada di luar.
Tak beberapa lama, iqomah pun dikumandangkan, dan tanpa terduga dengan segera pemuda itu berdiri di depan dan mempersiapkan dirinya untuk memimpin shalat shubuh berjamaah pagi ini.
Jujur aku sempat kaget, dan berfikir “oh, jadi ini maksud dari pertanyaan tadi.” Rupanya ia benar-benar ingin menjadi imam shalat berjamaah.
Dengan bacaan yang seadanya, ia melantunkan surat al-fatihah dan surat pendek lainnya dalam shalat, dengan suara yang tidak terlalu kencang. Jujur aku merasa gelisah, dan sempat bingung, apakah aku salah telah mengijinkan orang yang masih terbata-bata bacaan qur’annya untuk menjadi imam shalat. Sementara awalnya aku berfikir ia hanya bertanya apakah ia boleh menjadi imam, dan tak berarti ia akan menjadi imam shalat shubuh pada pagi hari ini. Ternyata perkiraanku salah.
Seusai sholat aku terus beristigfar, sambil memikirkan kejadian tadi. Bukan bermaksud untuk membesar-besarkan, tapi aku hanya merasa tidak enak dengan jamaah yang lain, mereka bertanya, kenapa bukan aku saja yang menjadi imam, atau bapak itu tadi, yang bacaan qur’annya sudah lebih baik. Aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyuman.
Aku berfikir, terlalu sombong diriku, jika aku merasa bahwa aku lebih baik dari padanya. Sedangkan Allah lebih mengetahui siapa hambaNya yang lebih baik bagiNya.
Kemudian aku bergegas pulang, sambil terus beristigfar, meminta ampun kepada Allah atas sikapku yang sombong itu. Aku masih terus berfikir, mencari hikmah dari kejadian tadi. Pasti ada yang ingin Allah tunjukkan kepadaku, atau mungkin Allah ingin mengajarkan kepadaku, bahwa bukan kita yang berhak menilai seseorang. Tapi Allah lah satu-satunya Zat yang berhak menilai siapa hambaNya yang lebih baik.
Aku tersenyum, hatiku berkata, “sungguh Maha Besar Allah, yang telah memberikan hidayah luar biasa kepada pemuda itu.” Mungkin dari situ ia akan lebih rajin lagi untuk sholat berjamaah di masjid, dan lebih giat lagi mempelajari dan memperbaiki bacaan qur’annya, hingga suatu saat nanti ia benar-benar bisa menjadi seorang imam yang terbaik.
Sayangnya aku tidak sempat bertanya kepadanya, kenapa ia sangat ingin sekali untuk menjadi imam. Tapi ya sudahlah, mungkin ada rahasia dan skenario dari Allah yang sedang dipersiapkan untukku, jamaah masjid kampusku dan pemuda itu sendiri tentunya. Wallahu a’lam.
Entah kenapa, ia sangat ingin menjadi imam
Reviewed by Nurul Hidayat
on
Agustus 06, 2015
Rating:
Reviewed by Nurul Hidayat
on
Agustus 06, 2015
Rating:


Tidak ada komentar:
Posting Komentar