banner image

Hari Itu (Merindukan Mentari)



Hari itu, sang mentari dapat kembali tersenyum memancarkan sinarnya,
menghangatkan setiap sudut kota yang telah lama diselimuti oleh hawa dingin,
mencairkan butir-butir es yang selama ini membekukan kehidupan kota ini,
kota kami, kota yang dahulunya bertabur kebahagiaan di setiap sisinya.

Semua terasa jauh lebih indah,
ketika kristal-kristal es tersebut terkena sinar sang surya,
memancarkan cahaya yang begitu indah,
dan berwarna-warni ketika tetesan air es yang mulai mencair berpapasan muka dengan sinar surya,
yang dengan penuh semangat dan amat tergesa-gesa,
ingin segera menyinari lorong-lorong kota yang gelap ini,
gelap karena telah lama ditinggalkan oleh sang surya.

Sudah lama sekali cahaya itu tak datang menjenguk kota ini,
membawakan secercah keceriaan bagi masyarakat yang berdiam disini,
atau setidaknya menyapa kami dengan senyuman ramah dan penuh kehangatan.
Setiap hari kota ini dihiasi dengan butiran-butiran tipis es yang turun dari langit,
namun sang langit tetap enggan memancarkan warna itu,
warna yang menjadi kesukaan kami,
warna yang membawa kedamaian dan ketentraman dalam jiwa kami ketika memandangnya.

Sekian lama kami hidup pada sebuah istana mungil yang diselimuti oleh salju yang terus berguguran dari langit,
layaknya bunga sakura yang menggugurkan diri dari tangkainya,
dan akhirnya menciptakan gumpalan es yang besar dan keras.
Kami tak menyukai keadaan ini,
dan kami tak mau sedikitkun mencoba untuk bersahabat dengan hawa dingin
dan lembaran-lembaran salju yang ada di sekitar kami.
Apa lagi dengan gumpalan-gumpalan es yang semakin membesar setiap harinya.
Kami menganggap semua itu menghalangi semua kegiatan Kami,
merebut kebahagiaan yang selama ini kami miliki.
Namun akhirnya, kami menyerah pada waktu,
yang semakin hari semakin tak memihak pada kami.

Sesekali kami keluar, untuk bermain dengan salju-salju yang mengelilingi tempat kami tinggal.
Mencoba menemukan cara untuk bisa tetap tersenyum bahagia,
atas apa yang sedang kami alami.
Namun bermain dengan gumpalan es ini, terasa kian membosankan,
tak banyak yang dapat kami lakukan dengan bongkahan es besar yang bertumpuk rapi disekeliling kami.
Suasana di kota ini semakin mencekam,
lantaran sulit sekali menemukan orang yang berlalu-lalang di luar.

Setiap hari, kami hanya berdiam diri di hadapan tungku pengapian dengan secangkir coklat hangat di tangan kami,
dan jaket tebal seakan melekat pada tubuh kami,
tak mau terlepaskan. seperti sudah menjadi bagian dari tubuh mungil ini.

Kota kami dahulunya tak seperti itu,
tak semencekam itu, dan tak sesuram itu.
Kota ini adalah kota yang bahagia, dimana sang surya selalu menyapa kami dengan penuh keramahan,
membangunkan kami dengan cahaya lembut nan hangat di pagi hari,
setelah sepanjang malam kami tertidur lelap bagaikan bunga yang sedang menguncup.
Mentari datang beriringan dengan perubahan warna langit menjadi biru cerah dan indah,
dengan awan putih yang bergerombol teratur mengiringinya,
itu membawa kebahagiaan besar bagi penduduk kota ini.
Kami tak pernah menyangka sedikitpun, jika hari-hari kami yang penuh kebahagiaan itu,
akan berubah menjadi hari-hari yang penuh dengan kesedihan.

Tibalah pada suatu hari yang tak pernah diduga-duga sebelumnya.
Hari itu semuanya menjadi berubah, entah apa yang terjadi pada sang surya,
semenjak hari itu ia tak lagi menyapa kota kami,
ia tak lagi membangunkan masyarakat di kota ini dengan kehangatan dan kelembutan serta pancaran sinarnya itu.
Masyarakat merasa bingung dan bertanya-tanya,
akupun demikian, selalu bertanya-tanya “ada apa ini?
Kenapa sang surya tak lagi memancarkan sinarnya di kota kami?”.

Dengan penuh cemas dan harap,
kami selalu bertanya-tanya akan keberadaan sang surya yang selama ini selalu hadir dalam hari-hari kami,
selalu datang untuk memberi kebahagiaan kepada masyarakat kota ini,
namun hari itu ia tidak lagi datang.
Kemanakah perginya sang surya? Kata itu selalu terdengar,
terucap lirih dari bibir masyarakat yang mulai resah menunggu sahabat kami itu,
sahabat besar dengan berbagai atributnya yang selalu dapat memberikan kebahagiaan kepada kami.

Harapan kami menjadi sirna,
tat kala sudah hampir 5 minggu sang surya tak mengunjungi kota kami,
tak menyinari kota kami, dan tak menyapa kami dengan lembut seperti yang sudah biasa dilakukannya.
Semuanya menjadi berubah, semenjak kepergian sang surya yang tak jelas kemana arah perginya?
dan juga mengapa ia pergi meninggalkan kota ini?

Hari-hari berikutnya kami lalui dengan perasaan sedih dan gundah,
hanya sedikit saja senyum yang tersisa pada garis bibir kami.
Kami seperti tak memiliki semangat lagi untuk menjalani hari-hari kami.
Kami menganggap hari-hari kami tak lagi indah semenjak kepergian sang surya,
semenjak sang surya memutuskan untuk tak menyinari kota ini lagi.

Kota ini menjadi semakin sunyi,
ketika mulai turun butiran-butiran es dari atas langit yang tak lagi berwarna biru cerah seperti dahulu,
ketika sang surya masih rajin menyinari kota ini.
Semakin hari butiran es yang jatuh semakin banyak,
menebarkan aroma dingin yang begitu menusuk hati kami,
rasa dingin itu bertambah besar disaat kami teringat
dan kembali merindukan tatapan sang surya yang bercahaya dan penuh kehangatan seperti dulu.

Butiran es semakin menebal, menimbulkan rasa malas pada kami untuk beraktifitas,
ditambah lagi, kami memang sudah lama kehilangan separuh semangat kami,
sejak lama, semenjak hari itu.

Kehidupan di kota ini berubah sedemikian rupa,
kota ini tak lagi menjadi kota yang ramai, kota ini tak lagi menjadi kota yang indah,
kota ini tak lagi menjadi kota yang menyenangkan.
Semua terasa mencekam, sunyi dan sepi menghiasi sudut-sudut kota ini.
Kami kehilangan penyemangat kami,
kami kehilangan kebahagiaan kami,
dan kami..... kehilangan mentari kami.

Ketika keadaan semakin memburuk,
dan kami mulai kehilangan harapan, keajaiban itupun terjadi.
Siang itu sang surya dengan malu-malu mulai memancarkan sinarnya, meskipun sedikit.
Ya, hanya sedikit.
kejadian itu memberikan semangat dan harapan baru bagi masyarakat kota ini.
Namun semuanya tak berlangsung lama,
sang surya kembali menutup diri dan pergi tanpa pamit dari kota ini,
tak lebih dari 5 menit. Lima menit yang cukup membahagiakan bagi kami,
5 menit yang kami kira akan menjadi waktu terindah bagi kami.
Kami berfikir, mungkin ini adalah awal dari kebahagiaan baru,
kebahagiaan yang sudah sejak lama kami nanti-nantikan,
kebahagiaan yang tercipta disaat kami sudah tenggelam sangat jauh dalam sebuah kesedihan.
Lima menit yang sangat berharga, 5 menit yang mampu menumbuhkan harapan kami,
5 menit yang menjadi semangat baru untuk masyarakat kota ini.
Harapan besar terpahat rapi di hati masyarakat yang tinggal di kota ini, termasuk aku.
Ya, aku mulai menumbuhkan kembali harapanku,
yang telah lama mati dan terkubur dalam lubang yang paling dalam di sudut hati ini.


Hari Itu (Merindukan Mentari) Hari Itu (Merindukan Mentari) Reviewed by Nurul Hidayat on April 05, 2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.